Pencuri Diary Malaikat Atid
Di
pekarangan rumah, bintang berenang di kolam kosong, tanpa ikan.Di pinggirnya
seorang bocah berumur 8 tahun tertunduk di todong bulan.Memikirkan kalimat yang
tergenang dalam otaknya.
“….semua
amal kita dicatat oleh 2 malaikat yaitu: malaikat Rakib yang bertugas mencatat
amal baik, sedangkan Malaikat Atid bertugas mencatat amal buruk”.Demikian
sebaris kalimat yang dikatakan gurunya. Kalimat itu terus berlarian di otak kecilnya,
membentur dan keluar menjadi sebuah khayalan
“Malaikat
Atid bertugas mencatat amal buruk?, selama ini aku mencuri, berarti tercatat di
diarynya. Apa harus aku curi juga diarynya?, dan kurobekan supaya tak ada yang
melaporkan perilakuku dan ayahku sebagai pencuri selama ini. Tapi kemana aku
bisa mencari diary Atid? Apakah di Terminal tempat biasa kumasukkan tangan
kecilku ke berbagai saku?”, begitulah kalimat polos dari khayal seorang bocah
pencuri di sebuah Terminal, ia hidup bersama neneknya. Uang hasil pencurian, ia
gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ayahnya meninggal 3 tahun lalu,
setelah menurunkan ilmu copet kepada anaknya yang baru berumur 5 tahun dan
sampai sekarang bocah tersebut meneruskan usaha ayahnya itu. Ibu dari anak ini
pergi ke Jeddah, Arab Saudi, sebagai seorang TKW, namun 4 tahun lamanya belum
pulang juga, dan tidak memberi kabar apapun. Mungkin hilang dimakan unta atau
tersesat di lebatnya janggut orang Arab, tapi entahlah.Demikian pikirnya yang
mengalir seperti air bening.Tanpa dosa.Lucu.
Bulan terus menodongnya, tetapi dia kabur ke tempat pembaringan, bersembunyi di
bawah sarung bekas almarhum ayahnya. Dan sekarang ia terlelap, setelah
ditidurkan suara para cecak di kamar kecil beralaskan tikar. Namun bulan dan
bintang terus membayang-bayanginya seperti seorang buronnan.
“nak,
kau harus menghapus dosa-dosa ayah, ayah tak sanggup bila harus masuk neraka”.
Bocah itu pun terkejut dan langsung bangun dari tidurnya.Tubuhnya mandi
keringat dingin, bercampur bahagia dan sedih. Bahagia karena ia bisa bertemu
ayahnya, walau dalam mimpi. Dan sedih, sebab ia kebingungan untuk mewujudkan
keinginnan ayahnya tersebut. Sekarang, ia kesusahan untuk tidur kembali,
sesekali menatap langit-langit kamar yang bocor dan mendengarkan jarum jam
dindingnya berbalapan. Khayalannya tadi untuk mencuri diary Atid muncul
kembali, dan sekarang ia bertekad untuk melakukannya. Demi ayahnya.
Angin malam antarkan dongeng ke celah bilik rumah,
sehingga ia tertidur kembali.
* * *
“Don!
Cepat bangun!”.Suara nenek merambat cepat membangunkan Doni.
Kemudian ia langsung berlari ke kamar mandi untuk sekedar mengusap wajahnya.
Dan langsung memakai seragam sekolah yang dibeli dari uang hasil curiannya dari
seorang perempuan berpantat padat dengan pipi dicat bedak tebal, dan dandannan
menor, merangsang para preman untuk menarik kolor. Setelah memakai baju,ia
langsung menalikan sepatu bolongnya dan bergegas ke sekolah dengan perut
kosong. Sakunya hanya berisi sekeping uang logam 500,00. Entah cukup untuk apa
uang sebesar itu di zaman sekarang, tetapi ia selalu menerima apa yang
ada dengan keadaannya saat ini. Sebab, uang hasil curiannya kemarin,
hanya cukup untuk mengusap perut nenek dan dirinya sendiri
Doni duduk di bangku kelas 3 SD. Bukan, bukan bangku, lebih tepatnya ia duduk
di lantai 3 SD, karena ia kehabisan bangku, dan terpaksa harus duduk di atas
lantai. Atap kelasnya bocor dan dindingnya retak, seperti retak otak para
pejabat botak yang tak memperhatikan mereka.Tidak apa-apalah.Yang penting
mereka bisa menimbun cita-citanya, walau terkadang ada pembantaian dari
runcingnya ekonomi yang semakin hari semakin menikam leher-lehernya dan juga
ledakan harga pendidikan.Sehingga tak heran cita-cita mereka menjadi kuburan
masal di jalannan, di kolong jembatan, dan sebagainya. Semua itu biasa adanya
di negeri yang subur akan tangan-tangan yang tumbuh di atas kas Negara. Doni
hanyalah pencuri kecil, di atas sana ada yang lebih besar daripada dirinya.
Pencuri yang duduk di atas kursi, tanpa harus berlari, tapi hasilnya pasti.
Bila ketahuan, ia tinggal menyumpal hukum dengan dompetnya yang berisi.
Hari ini, waktunya pelajaran matematika. Angka-angka berkeliaran dimana-mana:
merayap di otak dan berlarian di sepanjang urat mereka. Tidak pada Doni, dia
terus memikirkan kejadian semalam, kadang terselang ratapan kesedihan nasibnya
sekarang, karena tidak seperti anak lain yang selalu diselimuti kehangatan
tangan kedua orang tuanya. Semua itu tergenang, membentuk telaga. Dan ia berenang
di sana ;di telaga kesedihan. Tenggelam dalam penderitaanya sendiri.
“teng..
tong… teng…”. Bel istirahat berbunyi, membuatnya harus keluar dari telaga
tersebut.Ketika keluar, matanya basah kuyup dengan airmata. Namun ia segera
menghapusnya.
Di waktu istirahat, teman-temannya asyik bercanda sambil memanjakan
perutnya.Berbeda dengan Doni. Cacing-cacing menggelar demo di perutnya, namun
uang di saku tak cukup untuk mengusir mereka. Ah, biarlah, mereka hanya rakyat
yang berdemo di perutku, seperti yang sering kulihat, takkan kugubris meski
menangis histeris, akan kutiru telinga tuli para pejabat negeri seperti di Tv,
pikirnya. Doni hanya bisa pasrah dan menahan rasa laparnya. Sehabis waktu
istirahat, ia akan diajak guru IPS-nya berjalan-jalan menuju panjangnya
sejarah, pasti sangat melelahkan. Tetapi ia pantang untuk menyerah. Sungguh
tekad yang kuat.
Perjalannan
di mulai, ia jalani dengan senang hati. Seketika kelas itu sepi, berputar-putar
di jarum jam.Menyimak sejarah.
“teng…tong..teng…tong…teng…tong!”,
bel pulang pun berbunyi, penjelajahan di mulut Pak Guru berakhir. Waktunya
pulang
Sepulang sekolah, ia bersiap untuk meraba-raba saku para penumpang bus di
terminal dengan perut kosong ia merangkak pulang ke rumah
“Assalamualaikum!
Nek!”.
“iya
Don, tunggu!” neneknya menjawab sambil menambal celana bolong Doni
“nek,
doni lapar, pengen makan” merengek sambil menyimpan tas dan sepatunya
“aduhh..
Don, bakul kita sekarang kosong, nenek juga sama lapar, kamu yang sabar ya?
andai masih ada Orangtua kamu, pasti tidak seperti ini! nenek tidak bisa
berbuat apa-apa!” berbicara dengan nada pasrah sambil mengelus-ngelus kepala
Doni
Ia
tertunduk lesu sambil melangkah ke arah terminal “iya nek, Doni juga ngerti! Ya
sudah, sekarang Doni mau nyari duit dulu buat makan ke terminal”
“kasihan
anak itu, orangtuanya sudah tidak ada, dan hanya tinggal dengan neneknya yang
tidak bisa berbuat apa-apa ini” sambil mengusap airmatanya yang berjatuhan
serupa hujan yang dihalau angin
Jarak rumahnya ke terminal cukup jauh, sekitar 5KM. ia berharap semoga di sana
banyak saku-saku gemuk untuk penuhi meja makannya. Dan semoga di sana juga ia
bisa mendapatkan diary Atid. Kaki mungilnya bergerak cepat menuju terminal.
Sekarang,
ia sudah berada di antara keramaian para penumpang, tinggal membidik targetnya.
Matanya terus mengintai setiap orang yang masuk terminal.Target
ditemukan.Sasarannya seorang perempuan dengan dompet yang terlihat berisi dan
muncul ke permukaan sakunya.Doni terus mengikuti perempuan itu. Hanya beberapa
menit dompet itu pun ada di tangan dan langsung ia masukan ke dalam sakunya.Ia
pun bergegas pergi menuju tempat yang sepi untuk membuka isi dompet tersebut.
Akhirnya ia menemukan sebuah pohon rindang yang lumayan sepi. Dan ternyata
isinya hanyalah rekening tagihan listrik dan air, dan 2 lembar uang 1.000,-.
Doni menepak jidatnya.”apa-apaan ini kalo kutahu isinya cuman ini, dari tadi
kubuang aja! Tapi gak papahlah uang 2000,- ini bisa kubelikan makanan!”
Doni berjalan menuju terminal kembali, karena tidak merasa
puas akan hasil curiannya. Sesampainya di sana, ia kembali mencari mangsanya di
antara desakan penumpang dan teriakan kenektur bus. Terlihat seorang
bapak tua mengenakan pakaian putih-putih dengan membawa buku kecil dan sebuah
tas memasuki bus. Doni mengira buku itu adalah diary Atid, ia langsung
mengikutinya. Ia semakin semangat untuk mendapatkan curiannya kali ini.
perlahan-lahan doni mengendap-ngendap di belakangnya.
Ketika bapak itu lengah, dengan cepat tangan kecilnya
mengambil tas itu, namun bapak tua itu megetahuinya. Doni kaget dan langsung
cepat berlari ke luar bus, di belakangnya bapak tua itu lari dengan
terengah-engah. Doni terus berlari, namun bapak itutak ingin kalah dari Doni,
meski tua,ia berlari begitu cepat.
“aduhhhh…
aw!”, kaki Doni tersandung dan terjatuh. Iaterlihat ketakutan sekali, badannya
menggigil, menahan rasa sakit kaki dan lututnya yang berdarah. Di hadapannya
bapak tua serupa singa yang siap menerkam mangsa.
“akhirnya
kena juga kamu bocah nakal!” sambil melototkan matanya ke arah Doni. Begitu
seram matanya, merah menyala menatap kejam Doni.
“ampun
pak, saya terpaksa mencuri, karena saya sudah tidak punya orang tua. Ayah
saya meninggal 3 tahun lalu dan ibu saya pergi ke Arab, tapi belum pulang juga!
Ampun pak! Ampuni saya!”
“akh,
sudahlah jangan banyak menyangkal! Kau memang nakal, harus dikasih pelajaran!”
“ampun
pak! Ampun!”
Tiba-tiba
di depan mereka lewat tukang Koran yang berteriak
“korupsi!
Korupsi! Koran tentang korupsi sudah tertumpuk! Silahkan baca!”
“apakah
aku harus memukul anak sekecil ini yang hanya merampok sebagian kecil hartaku,
sedangkan dalam Koran itu korupsi menjamur memenuhi halaman” pikirnya dalam
hati dan merasa iba kepada Doni, lalu bapak tua itupun membangunkan dan
mengajaknya pergi. Doni merasa heran dengan perlakuan Bapak itu, tadi di
matanya ia menyulut api, tapi sekarang mematikannya sendiri. Aneh.
Kemudian
mereka berdua pergi ke sebuah warung nasi untuk mengadukan lidah dan
menggulatkan giginya di sepiring nasi, bapak tua menyambar Doni terlebih dahulu
“nak,
kenapa kau harus mencuri seperti tadi?”
“aku
hanya meneruskan usaha ayahku pak!” sambil memenuhi rongga mulutnya dengan
makannan, dan bapak itu hanya melihatnya dengan mata telanjang
“apa?
Kau bilang meneruskan usaha? Ini bukan meneruskan usaha, tapi meneruskan dosa
nak! Sudah jangan kau lakukan lagi!”
“kalau
tidak diteruskan, lantas nenek dan aku mau makan apa?”
“carilah
usaha yang halal, bila dengan cara ini kau memenuhi perutmu, kau hanya menambah
dosa di catatan Atid!”
“apa?
Bapak bilang Atid?Apakah bapak kenal dengannya?tau rumahnya?” pertanyaan Doni
meluncur bertubi-tubi seperti menyerang balik bapak tadi.
Dengan
lirih dan mata berbinar-binar bapak itu pun menjawab, “bagi orang beriman,
siapapun pasti mengenalnya.Dia pencatat amal buruk manusia.Rumahnya berdekatan
denganmu.Sangat dekat.Bahkan dia selalu tahu niat jahatmu!”
“yang
benar pak? Aku ingin mencuri dan merobekan diarynya agar tidak ada yang
melaporkan aku dan ayahku kepada Tuhan, dan karena ayah pernah berpesan
kepadaku dalam mimpi untuk menghapus semua dosanya!”.kedengarannya memang
hanyalah sebuah kalimat polos, namun dibalik kepolosannya ia mempunyai niat
mulia, yaitu menghapus semua dosa ayahnya.
“kau
dapat dengan mudah mencuri dan merobekan diarynya, hanya dengan meminta maaf
kepada Tuhan, menjauhi larangan dan mentaati peraturan-Nya, apakah kamu tahu
bagaimana cara mengemudikan sejadah?. Ya, tentunya dengan do’a.Do’akanlah
Ayahmu semoga dosa-dosanya dihapuskan.Carilah pekerjaan halal! Cepat habiskan
makananmu!”
Doni
termangu mendengar perkataannya, “baik-baik pak, saya akan melakukan apa yang
bapak katakan!Terima kasih pak!”
Sekarang
Doni merasa lega, serupa menjelma langit yang memuntahkan air dan angin pada
bumi. Habis sudah makannan di depannya, ketika ia melihat kearah bapak tua
tadi. Kedua matanya berlarian mencari sosok bapak tua itu, tapi tetap tak
menemukannya, hanya melihat sebuah buku kecil dan uangnya yang tertinggal.
“kemana
perginya bapak tua itu? Begitu cepat ia menghilang. Apakah dia malaikat
Atid?Tapi kalau dia malaikat, kenapa dia tadi marah ya?kata Pak Guru malaikat
tidak mempunyai nafsu. Atau mungkin malaikat masuk lewat matanya yang melotot
tadi.Ah, entahlah! Sekarang kubayarkan saja uang ini kepada pemilik warung dan
kubawa bukunya. Kalau nanti bertemu lagi, kukembalikan saja! Sebab ini bukan
hakku!” demikian kata Doni mengakhiri pertemuannya. Sekarang ia sudah mengerti,
dan tidak mau menjadi seorang pencuri lagi.Senja sudah terbingkai di kelopak mata.Ia
melangkah pulang bersama sayap-sayap Atid yang merapuh di tubuhnya
* *
*
MR.Maskur 2013
Comments