SEPUTAR BUKA PUASA BAGIAN 2

SEPUTAR BUKA PUASA BAGIAN 2

Oleh: Abu Syafira diambil dari tulisan Ustadz Muhammad Abduh Tasikal & Ustadz Ammi Nur Baits hafidzahumullāh

MENJAWAB PANGGILAN ADZAN SEPERTI APA YANG DIUCAPKAN OLEH MUADZIN KEMUDIAN BERSHALAWAT & MEMINTA WASILAH KEPADA ALLĀH UNTUK NABI NUHAMMAD SHALLALLĀHU'ALAIHI WA SALLĀM
Dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyAllāhu'anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allāh akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allāh untukku. Karena wasilah itu adalah tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allāh, aku berharap akulah yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah yang berhak mendapatkan syafa’atku.”
(HR.Muslim rahimahullāh no.384)

BERDO'A MENOHON WASILAH UNTUK NABI SHALLALLĀHU'ALAIHI WA SALLĀM & AMALAN SESUDAH MENDENGAR ADZAN
Dari Jabir bin Abdillāh radhiyAllāhu'anhu, Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan

‘Allāhumma robba hadzihid da’watit tāmmah wash sholatil qõ-imah, āti Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqõmam mahmūda alladzi wa ‘adtah’

[Ya Allāh, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.”
(HR.Bukhari rahimahullāh no. 614)

Ada juga amalan sesudah mendengarkan adzan jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyAllāhu'anhu, dari Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan:

Asyhadu alla ilāha illAllāh wahdahu lā syarīka lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasūluh, radhītu billāhi robbā wa bi muhammadin rosulā wa bil islami dīnā

(artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allāh, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha Allāh sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.”
(HR. Muslim rahimahullāh no.386)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyAllāhu'anhu bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullāh, sesungguhnya muadzin selalu mengungguli kami dalam pahala amalan. Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
Ucapkanlah sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang adzan, berdo'alah, maka akan diijabahi (dikabulkan).”
(HR.Abu Daud rahimahullāh no. 524 & Ahmad rahimahullāh 2: 172. Al Hafizh Abu Thohir rahimahullāh mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Artinya, doa sesudah adzan termasuk di antara do'a yang diijabahi.

Mana yang harus didahulukan, menjawab panggilan adzan ataukah berbuka puasa?

Yang jelas, berbuka puasa dengan segera punya keutamaan sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang lalu.

Menjawab panggilan adzan dihukumi sunnah menurut jumhur atau pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullāh dalam Al-Majmu’ pada juz ketiga.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullāh mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan dalil antara mendahulukan berbuka puasa & menjawab adzan. Kedua hal itu bahkan bisa dilakukan berbarengan.
(Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 101582)

Begitu pula hal di atas bisa digabungkan dengan membaca doa ketika berbuka puasa “dzahabazh zhomau wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru Insya-Allāh”, lalu membaca do'a yang sesuai dengan hajat kita. Ingatlah do'a saat berbuka & doa setelah adzan adalah do'a yang mustajab.

Jika hal di atas dipraktikkan, maka berbagai keutamaan saat berbuka puasa akan didapatkan.

MENDAHULUKAN MAKAN SEBELUM SHALAT APABILA MAKANAN TELAH DIHIDANGKAN
Dari ‘Aisyah radhiyAllāhu ‘anha, Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan ingin kencing atau buang air besar.”
(HR.Muslim rahimahullāh no.560)

Dalam hadis lain, dari Ibnu Umar radhiyAllāhu ‘anhuma, Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ، وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ
"Apabila kalian sudah menghadap ke makanan, maka jangan buru2 shalat hingga menyelesaikan hajatnya (makannnya), meskipun iqamah shalat sudah dikumandangkan. (HR.Bukhari rahimahullāh no.674)

Kemudian, dalam hadits dari Anas radhiyAllāhu ‘anhu disebutkan,

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.”
(HR.Bukhari rahimahullāh no.673 & Muslim rahimahullāh no.557)

Sahabat Abu Darda radhiyAllāhu ‘anhu mengatakan,

مِنْ فِقْهِ المَرْءِ إِقْبَالُهُ عَلَى حَاجَتِهِ حَتَّى يُقْبِلَ عَلَى صَلاَتِهِ وَقَلْبُهُ فَارِغٌ
"Ciri orang yang pandai masalah agama, dia lebih mendahulukan kebutuhan pribadinya, sehingga dia bisa mengerjakan shalat dalam keadaan hatinya tidak memikirkan yang lain.
(AR.Bukhari rahimahullāh secara Muallaq no.671)

Nafi rahimahullāh (murid sekaligus menantunya Ibnu Umar radhiyAllāhu'anhuma) menceritakan,

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ، وَتُقَامُ الصَّلاَةُ، فَلاَ يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإِمَامِ
"Suatu ketika dihidangkan makanan kepada Ibnu Umar, sementara iqamah sudah dikumandangkan. Namun beliau tidak datang ke masjid, hingga menyelesaikan makannya. Dan ketika makan, beliau mendengar bacaan imam.
(AR.Bukhari rahimahullāh secara Muallaq, no.673)


Islam menghargai adanya syahwat dalam diri manusia. Karena itu, kita tidak diminta untuk mematikan syahwat dalam diri kita, disamping hal itu tidak mungkin dilakukan. Yang diperintahkan adalah mengendalikan syahwat itu.

Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām mengajarkan kepada kita untuk konsentrasi ketika ibadah. Sehingga, ketika terjadi tabrakan antara kebutuhan jiwa dengan ibadah di waktu bersamaan, beliau mengajarkan agar kebutuhan jiwa yang mubah, agar didahulukan dari pada ibadah. Agar dia bisa konsentrasi dalam beribadah.

Beliau shallAllāhu'alaihi wa sallām bersabda,

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ
Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan ingin kencing atau buang air besar.”
(HR. Muslim rahimahullāh no.560)

Apa makna ”tidak ada shalat” dalam hadits?

Ulama berbeda pendapat,

Pendapat pertama, shalatnya tidak sah. Sehingga ketika ada orang yang shalat sambil menahan ingin buang hajat atau menahan keinginan untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan, maka shalatnya batal. Ini merupakan pendapat Syaikhul Islam rahimahullāh & ulama madzhab dzahiriyah.

Pendapat kedua, shalatnya tetap sah, namun makruh & pahalanya tidak sempurna. Sehingga makna ‘Tidak ada shalat’ adalah tidak sempurna shalat seseorang. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
(Taisir al-Allam, Syarh Umdah al-Ahkam, 1/96).

Jika makanan sedang dihidangkan ketika waktu shalat, apakah seseorang harus segera makan?
Sebagian ulama memberikan persyaratan,

-Ada keinginan untuk makan. Jika tidak ada keinginan, karena tidak nafsu atau sudah kenyang atau sebab lainnya, dia tidak harus makan.

-Waktu shalat masih longgar jika mendahulukan makan. Jika waktunya sempit, tidak memungkinkan jika makan dulu, maka dia harus mendahulukan shalat.

-Memungkinkan untuk makan. Jika tidak memungkinkan, maka dia harus mendahulukan shalat. Contoh tidak memungkinkan: makanan dihidangkan di warung, sementara dia tidak memiliki uang untuk membelinya. Atau dia sedang puasa, sementara makanan dihidangkan di waktu asar.

Berdasarkan keterangan di atas orang yang sedang berbuka puasa & di hadapannya ada makanan menarik baginya, maka hendaknya dia dahulukan makan sebelum shalat.

MEMBERI MAKAN ORANG LAIN KETIKA BERBUKA PUASA
Jika kita diberi kelebihan rizki oleh Allāh Ta'ala, manfaatkan waktu Ramadhan untuk banyak2 berderma, di antaranya adalah dengan memberi makan berbuka karena pahalanya yang amat besar. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.

Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”
(HR.Tirmidzi rahimahullāh no.807, Ibnu Majah rahimahullāh no.1746 & Ahmad rahimahullāh 5/192. Imam Tirmidzi rahimahullāh mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani rahimahullāh mengatakan bahwa hadits ini shahih)

MENDO'AKAN ORANG YANG MEMBERI MAKAN UNTUK BERBUKA PUASA
Ketika ada yang memberi kebaikan kepada kita, maka balaslah semisal ketika diberi makan berbuka. Jika kita tidak mampu membalas kebaikannya dengan memberi yang semisal, maka doakanlah ia.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyAllāhu'anhu, Nabi shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
Barangsiapa yang memberi kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika engkau tidak dapati sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka do’akanlah ia sampai engkau yakin engkau telah membalas kebaikannya.”
(HR.Abu Daud rahimahullāh no.1672 & Ibnu Hibban rahimahullāh 8/199. Derajat hadits ini shahih)

Ketika Nabi shallAllāhu ‘alaihi wa sallām diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit & mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى
Allāhumma ath’im man ath’amanī wa asqi man asqõnī”
[Ya Allāh, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku & berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku]”
(HR.Muslim rahimahullāh no.2055)

KETIKA BERBUKA PUASA DI RUMAH ORANG LAIN
Nabi shallAllāhu ‘alaihi wa sallām ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyAllāhu'anhu, beliau mengucapkan,

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
Afthoro ‘indakumush shõ-imūna wa akala tho’amakumul abrõr wa shollat ‘alaikumul malā-ikah [Orang2 yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang2 yang baik menyantap makanan kalian & malaikat pun mendo’akan agar kalian mendapat rahmat].”
(HR.Abu Daud rahimahullāh no.3854 & Ibnu Majah rahimahullāh no.1747 & Ahmad rahimahullāh 3/118. Derajat hadits ini shahih)



WAJIB MELAKSANAKAN SHALAT DI MESJID BAGI LAKI-LAKI
Hadits Abu Hurairah radhiyAllāhu ‘anhu yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, yang berbunyi,

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang lelaki buta menjumpai Nabi shallAllāhu ‘alaihi wa sallām & dia berkata, ‘Wahai Rasulullāh, sungguh aku tidak memiliki seorang penuntun yang bisa menuntunku berjalan ke mesjid.’ Kemudian ia memohon kepada Rasulullāh shallAllāhu ‘alaihi wa sallām agar diberikan keringanan sehingga dia boleh shalat di rumahnya, lalu beliau shallAllāhu ‘alaihi wa sallam membolehkannya. Ketika orang tersebut berpaling pergi, beliau shallAllāhu ‘alaihi wa sallām memanggilnya & berkata, ‘Apakah kamu mendengar adzan shalat?’ Ia menjawab, ‘Iya.’ Beliau pun menyatakan, ‘Maka datangilah!’”

WANITA LEBIH UTAMA MELAKSANAKAN SHALAT DI RUMAH
Dari Ibnu ‘Umar radhiyAllāhu'anhuma, Nabi shallAllāhu ‘alaihi wa sallām bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Janganlah kalian melarang istri2 kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”
(HR.Abu Daud rahimahullāh, Syaikh Al Albani rahimahullāh mengatakan bahwa hadits ini shahih)

WALLĀHU A'LAM

Comments