Waktu Shalat ‘Ashar
Waktu Shalat
‘Ashar
Awal waktu shalat ‘Ashar adalah ketika
panjang bayangan sama dengan panjang bendanya. Demikian pendapat jumhur ulama
yang diselisihi oleh Abu Hanifah.
Sedangkan mengenai waktu akhir shalat ‘Ashar
terlihat saling bertentangan antara dalil-dalil yang ada.
Dalam hadits ketika Jibril mengimami Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, shalat pada hari pertama pada saat panjang bayangan sama
dengan panjang benda. Sedangkan esoknya, pada saat panjang bayangan sama dengan
dua kali panjang benda. Lalu dikatakan di akhir hadits bahwa batasan waktu
shalat adalah antara dua waktu tersebut. Inilah yang disebut dengan waktu ikhtiyar
menurut Syafi’iyah. (Lihat Al Iqna’, 1: 197)
Sedangkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
disebutkan “Waktu Ashar masih terus ada selama matahari belum menguning”,
Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ
الْعَصْرَ
“Barangsiapa
yang mendapati satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari tenggelam maka ia
telah mendapatkan shalat ‘Ashar”. (HR. Bukhari no. 579 dan Muslim no. 608).
Dari dalil-dalil di atas disimpulkan oleh
ulama Syafi’iyah bahwa shalat ‘Ashar memiliki empat waktu:
(1) waktu fadhilah (utama) yaitu
sampai panjang bayangan sama dengan dua kali panjang benda,
(2) waktu jawaz bi laa karohah (boleh
dan tidak makruh), yaitu mulai ketika panjang bayangan telah dua kali panjang
benda hingga matahari menguning,
(3) waktu karohah (makruh), yaitu
mulai saat matahari menguning hingga mendekati tenggelam,
(4) waktu tahrim (haram), yaitu
mengakhirkan waktu shalat hingga waktu yang tidak diperkenankan.
Semua shalat yang dikerjakan pada waktu-waktu
di atas dinamakan adaa-an (bukan qodho’). Demikian penjelasan dalam
Kifayatul Akhyar, hal. 80 dan juga disinggung dalam Al Iqna’, 1: 197 yang
menyebutkan sampai tujuh waktu.
Shalat yang dilakukan menjelang matahari
tenggelam, itulah shalatnya orang munafik. Dalam hadits Anas disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تِلْكَ
صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ
قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا
إِلاَّ قَلِيلاً
“Itulah
shalat orang munafik. Ia duduk menanti matahari di antara dua tanduk setan lalu
ia berdiri dan melaksanakan shalat empat raka’at dengan cepat. Tidaklah ia
mengingat Allah kecuali sedikit.”(HR. Muslim no. 622).
Disunnahkan shalat ‘Ashar dilakukan segera
mungkin di awal waktu. Hal ini berdasarkan hadits Anas,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ
مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi, tidak berubah
sinar dan panasnya.” (HR. Bukhari no. 550 dan Muslim no. 621).
Hal di atas lebih ditekankan lagi ketika
cuaca mendung agar tidak terjadi kesamaran dalam pengerjaan shalat ‘Ashar
tersebut. Jika tidak malah dikerjakan di luar waktu atau dilakukan saat
matahari telah menguning. Dari Abul Malih, ia mengatakan,
كُنَّا
مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ
الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ
الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Kami pernah bersama Buraidah pada saat
perang di hari yang mendung. Kemudian ia berkata, “Segerakanlah shalat ‘Ashar
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
meninggalkan shalat ‘Ashar maka terhapuslah amalnya”. (HR. Bukhari no. 553).
-bersambung insya Allah-
Comments