Waktu Shalat ‘Isya’


Waktu Shalat ‘Isya’

Sebagaimana disebutkan dalam matan Abi Syuja’, “Awal waktu shalat ‘Isya’ adalah jika awan merah di ufuk telah hilang. Akhir waktunya -yang disebut waktu ikhtiyar (pilihan)- adalah hingga 1/3 malam. Akhir waktu jawaz (bolehnya) adalah saat terbit fajar kedua (fajar shodiq).
Awal waktu shalat ‘Isya’ sebagaimana disepakati oleh para ulama adalah mulai dari hilangnya syafaq. Awal waktu ini disepakati oleh para ulama (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 244).
Dalil yang menunjukkan awal waktu shalat ‘Isya’ sebagaimana diterangkan dalam hadits shalat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersama Jibril,

وَصَلَّى بِىَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ
Lalu beliau melaksanakan shalat ‘Isya’ bersamaku ketika cahaya merah saat matahari tenggelam hilang.

Yang dimaksud syafaq adalah cahaya merah di ufuk barat saat matahari tenggelam. Syafaq ini adalah cahaya merah sebagaimana dipahami dari sisi makna bahasa, bukan cahaya putih (Lihat Al Iqna’, 1: 199).
Adapun waktu akhir shalat ‘Isya, inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Syafi’iyah, akhir waktunya adalah sampai sepertiga malam. Ini disebut waktu ikhtiyar menurut Syafi’iyah. Alasannya disebutkan dalam hadits Jibril, pada hari kedua beliau shalat hingga sepertiga malam. Disebutkan dalam hadits,

وَصَلَّى بِىَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ
Lalu beliau shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam.” 

Jika dikatakan sepertiga malam, maka waktu malam dihitung dari Maghrib hingga shubuh, sekitar ada 10 jam. Jika maghrib jam 6 sore, maka sepertiga malam sekitar jam setengah sepuluh malam.
Sedangkan hadits lain menyebutkan waktu shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam sebagaimana dalam hadits,

لولا أن أشق  على أمتي لفرضت عليهم السواك مع الوضوء ، ولأخرت صلاة العشاء إلى نصف الليل
Seandainya tidak memberatkan umatku, tentu aku akan mewajibkan bagi mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu’ dan aku akan mengakhirkan shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok, 1: 245, dishahihkan oleh Al Hakim). 

Pendapat yang memilih shalat ‘Isya berakhir hingga pertengahan malam dipilih oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim. Dalam Al Majmu’, Imam Nawawi menyebutkan bahwa kebanyakan ulama berpegang dengan pendapat ini (Lihat Al Iqna’, 1: 200). Namun sekali lagi, waktu tersebut masih disebut waktu ikhtiyar, yaitu waktu penunaian shalat secara ada-an (di waktunya).
Sedangkan waktu jawaz (bolehnya) adalah hingga terbit fajar kedua (fajar shodiq, tanda masuk shalat Shubuh). Dalil pegangannya adalah hadits Abu Qotadah,


أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى

Orang yang ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim no. 681). 

Waktu jawaz ini adalah waktu masih dibolehkan shalat ‘Isya’, masih dianggap ada-an (ditunaikan di waktunya) dan tidak terkena dosa bagi yang menunaikan ketika itu. Beda dengan ulama Hambali yang berpendapat bahwa penunaian shalat ‘Isya setelah pertengahan malam adalah berdosa dan ini adalah waktu dhoruroh menurut mereka. Waktu dhoruroh hanya dibolehkan bagi orang yang punya udzur seperti wanita yang baru suci dari haidh, orang kafir yang baru masuk Islam, seseorang yang baru baligh, orang gila yang kembali sadar, orang yang bangun karena ketiduran dan orang sakit yang baru sembuh. Orang-orang yang punya udzur seperti itu masih boleh mengerjakan shalat ‘Isya’ ketika waktu dhoruroh.[1]

‘Ala kulli haal, untuk hati-hatinya, kita mengerjakan shalat ‘Isya’ berakhir hingga pertengahan malam. Ini waktu akhir shalat ‘Isya’ yang dianggap waktu ikhtiyar, disepakati oleh ulama Syafi’i dan Hambali. Pertengahan malam dihitung dari waktu maghrib hingga shubuh, sekitar jam 11 malam. Wallahu a’lam.





Comments